Siedoo.com -
Daerah

Puncak Acara Dies Natalis STAINU

TEMANGGUNG – Berbagai rangkaian acara digelar Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Temanggung, Jawa Tengah dalam Dies Natalis ke 48. Puncak acara diawali dari refleksi tentang kondisi STAINU.

Ketua STAINU Temanggung Moh. Baehaqi menyatakan bahwa, banyak sekali potensi kampus ini yang sudah berkembang. Salah satunya perubahan dari FHI UNNU yang dulunya satu cabang dengan UNU Surakarta.

“Kemudian menjadi STISNU Temanggung, lalu berubah menjadi STAINU Temanggung,” jelasnya.

Selain itu, di tahun ini target akreditasi dan pengajuan konversi dari STAINU menjadi UNISNU Temanggung. Dalam kegiatan itu juga dilakukan pemotongan tumpeng, dan pemberian beberapa piala dan penghargaan juga diberikan Ketua STAINU Temanggung kepada para juara lomba tonnis, lomba duta STAINU dan dosen berprestasi.

Dalam seminar literasi bertajuk “Perang Malaikat dan Syetan dalam Media Sosial”, narasumber membahas terkait dengan kabar hoax yang beredar di masyarakat. Eko Kus Prasetyo, ST., M.Eng, Staf Pemberdayaan Komunikasi dan Informasi Publik Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kabupaten Temanggung mengajak semua peserta untuk memfilter diri agar tidak mudah membagikan semua jenis upload di media sosial.

“Istilah kami itu sharing dulu sebelum share,” kata dia.

Ia menjelaskan, manusia hidup di dunia nyata bisa menjadi baik atau malaikat. Tapi kadang di medsos itu bisa menjadi orang lain. Mudahnya, pengguna bisa berjiwa dua, antara di dunia nyata dan maya.

“Makanya kita harus menjadi malaikat baik di dunia nyata maupun maya,” kata dia dalam seminar yang dihadiri ratusan pelajar dari Temanggung dan keluarga besar STAINU Temanggung itu.

Eko juga mengajak peserta seminar untuk memilah dan memilih upload di medsos. Medsos ini kan cuma alat berinteraksi.

Baca Juga :  Dosen Prodi Bimbingan Konseling Universitas Ivet Terbitkan Karya Literasi

“Harus kita perlakukan dengan bijak agar kita tidak bisa tersandung UU ITE yang sudah direvisi ini. Karena di pasal-pasal jelas ada berapa hukuman penjara dan denda. Makanya kita harus menjadi malaikat dalam bermedsos,” ujar dia.

Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung Hamidulloh Ibda menyatakan, mahasiswa, pelajar, dosen dan semua kalangan harus menjadi malaikat yang menulis, mengabarkan, share apa saja termasuk berita, video, gambar dan meme di media sosial. Manusia memiliki dua potensi. Benar salah, baik buruk, taat menentang, berbuat kebaikan dan kejahatan.

“Tidak hanya di dunia nyata namun juga di dunia maya sebagai benua yang kini kita huni,” kata Hamidulloh Ibda yang juga pengurus Bidang Literasi Media Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jateng tersebut.

Seminar itu menjadi puncak acara Dies Natalis STAINU Temanggung yang ke-48. Dosen asal Pati ini menjelaskan, literasi di dunia pendidikan dan jurnalistik di Indonesia berkembang karena data kemampuan membaca dan mendapatkan informasi jauh dari harapan.

“Literasi itu intinya adalah kemampuan literat, melek aksara, melalui kegiatan membaca, menulis, mendapatkan informasi dan kebenaran lewat kegiatan apa pun termasuk seminar ini,” urainya.

Ibda juga menambahkan, literasi di era Revolusi Industri 4.0 ini tidak lagi menggunakan literasi lama. Namun harus menuju ke literasi baru. Dulu, tantangan di tahun 2015 ini MEA. Solusi pemerintah adalah penguatan kompetensi, karakter dan literasi. Namun di era disrupsi teknologi dan Revolusi Industri 4.0 ini, dituntut untuk menguasai literasi baru yang aspeknya ada empat.

“Mulai dari literasi data, teknologi dan humanisme atau SDM. Sementara literasi lama yang aspeknya membaca, menulis dan berhitung harus dikuatkan,” ungkapnya.

Baca Juga :  396 PPPK Disumpah, Wali Kota Magelang: PPPK Bisa Menduduki Jabatan Eselon II

Ia pun mengajak semua hadirin untuk menjadi malaikat yang menyeru pada kebaikan, menganjurkan pada Islam ramah, toleran, dan rahmatal lillalamin. Jangan mudah percaya dengan berita, foto, video atau meme.

“Kenali medianya, cek sumbernya, dan laporkan pada yang berwajib jika itu benar-benar hoax atau fake,” papar penulis buku Media Literasi Sekolah itu.

Apa Tanggapan Anda ?