JAKARTA, siedoo.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemedikbudristek) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Peraturan tersebut untuk melindungi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, serta kelompok disabilitas dari kekerasan sehingga tercipta lingkungan pembelajaran yang inklusif, berkebinekaan dan aman.
Merujuk pada Permendikbudristek PPKSP, ada empat kunci dalam mencegah kekerasan dan perundungan yakni penguatan tata kelola, membentuk satuan tugas (satgas) sehingga mekanisme dalam PPKSP menjadi jelas, mengadakan sosialisasi untuk membangun kesadaran seluruh warga pendidikan, serta menyediakan sarana dan prasarana dalam implementasi PPKSP.
Psikolog, CHA, CGA, Nurina, memaparkan peran orang tua dalam mencegah perundungan dan kekerasan seksual.
Nurina menjelaskan, dunia pendidikan identik dengan pengabdian. Sebagai seorang psikolog, ia mendatangi sekolah-sekolah dengan kisaran yang berbeda untuk pendampingan psikologis.
Peraturan Nomor 46 tahun 2023 menurutnya, menjadi payung hukum yang berfungsi memberikan perlindungan bagi generasi-generasi masa depan dalam menjalani aktivitas pembelajarannya di lingkungan satuan pendidikan.
“Parenting bukan sekadar tugas, melainkan sebuah seni yang memerlukan pemahaman mendalam terhadap peran yang kita jalani dan siapa yang menikmati peran kita,” ujarnya.
Parenting adalah seni dalam memahami diri sendiri dan orang lain dalam rangka mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak terutama apabila terjadi konflik.
“Contoh, memahami anak pertama, hal apa yang dia mau dan pola asuh seperti apa yang sesuai untuknya,” imbuhnya.
“Fokus kita bukan hanya melindungi anak sebagai korban, tetapi kita juga harus fokus terhadap anak-anak agar tidak menjadi pelaku,” ujar Ibu Nurina.
Terdapat enam karakteristik pelaku perundungan. Pertama, pelaku biasanya agresif (menyerang), seperti ketika masih kecil ia melempar barang saat marah. Sedangkan, agresif verbal adalah menyerang dengan kata-kata tajam dan menusuk. Maka, orang tua harus bertindak dengan mengajari untuk bertanggung jawab atas tindakan anak agar tidak menyakiti orang lain baik dengan tindakan maupun ucapan.
Kedua, pelaku mempunyai sikap untuk mendominasi teman sebaya dan dapat memanipulasi teman-temannya. Cara mengatasinya adalah dengan merangkul anak, memisahkan anak tersebut dari teman-temannya yang ikut merundung. Orang tua harus menjadi kunci agar tidak cemas dan memarahi anak-anak.
Ketiga, adanya keinginan yang tinggi dari pelaku untuk memenangkan situasi sehingga cenderung ingin memegang kendali dengan menghalalkan segala cara. Peran orang tua di sini, harus membiasakan anak berorientasi pada proses, untuk mendapatkan hasil.
Keempat, anak merasa puas saat menyakiti orang lain ataupun hewan-hewan lemah. Hal ini perlu menjadi perhatian yang penting bagi orang tua.
“Kita harus dapat melihat ekspresi anak saat bertindak menyakiti orang lain,” pesannya.
Kelima, menolak untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Dari sudut pandang sekolah, banyak orang tua yang terlalu memanjakan anaknya dan ketika melakukan kesalahan di sekolah, orang tua membela anak-anak dan tidak bertindak tegas kepada anak-anak.
Keenam, pelaku sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Contoh tindakan pelaku misalnya merundung secara psikologis seperti mengajak orang lain untuk menjauhi seseorang. Peran orang tua di sini penting untuk menganalisa hubungan sebab-akibat, mengapa anak berbuat demikian.
“Kita harus membentuk karakter yang positif dengan menjaga apa yang anak-anak lihat, dengar dan rasakan. Kita harus mengajarkan sikap pengendalian emosi dan memberitahukan mana yang baik dan yang benar agar melakukan tindakan yang sesuai dengan normas,” terang Nurina. (kemendikbudristek/siedoo)