JAKARTA, siedoo.com – Menteri Perdagangan tahun 2011-2014 Gita Wirjawan kini lebih aktif sebagai konten kreator terutama di bidang pendidikan dan pengembangan diri.
Selain aktif mengunggah video di kanal miliknya yang bertajuk “Endgame”, Gita kini juga mengajar di Stanford University dan tercatat sebagai anggota dewan penasehat global di sejumlah universitas salah satunya Yale University.
Gita juga mendirikan sekolah bernama School of Government and Public Policy (SGPP Indonesia) yang berlokasi di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sejak tahun 2012.
“Ini adalah episode yang baru, tapi kemungkinan terakhir dalam hidup saya. Saya akan menekuni pendidikan selama mungkin, karena dampaknya yang luar biasa,” ujar Gita saat ditanya alasannya terjun ke dunia pendidikan dalam sebuah bincang-bincang di kanal video berbagi milik Edtech Cakap, belakangan ini.
Gita melihat bahwa kualitas pendidikan menjadi kunci kemajuan suatu bangsa.
Berdasarkan data dari worldpopulationreview.com yang merangkum berbagai laporan global, secara keseluruhan kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat 54 dari 78 negara yang disurvei.
Amerika Serikat, Inggris dan Jerman berada di peringkat tiga teratas, sementara negara Asia Tenggara yang menempati posisi di atas Indonesia diantaranya Singapura (Peringkat 21), Malaysia (38), dan Thailand (46).
Di Indonesia, kualitas guru sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam pendidikan diukur melalui skor Uji Kompetensi Guru (UKG). Pada 2015 skor rata-rata UKG berada di angka 56,69 jauh dari standar saat itu yakni 55.
Oleh karena itu, guru menjadi kunci prioritas jika ingin memperbaiki pendidikan. Sehingga Gita banyak menitikberatkan apa yang mesti diperbaiki dari sisi pengajar atau guru.
“Lantas pendidik yang tepat itu seperti apa?” tanya Tamara, Guru Cakap yang menjadi host dalam acara bincang-bincang pendidikan bertajuk Cakap Teachers’ Corner tersebut.
Gita dengan cepat menjawab bahwa educator (pendidik) yang tepat adalah yang mengerti apa yang ia sampaikan.
“Educator yang benar itu yang ada keterbukaan dan tidak malu merasa bersalah. Saya pikir dulu sebagai siswa stress, ternyata sebagai pendidik jauh lebih stressful. Persiapan guru kan lebih berat daripada persiapan siswa atau siswi, disitulah kemuliaan seorang pendidik,” cerita Gita.
Pendiri Ancora Foundation ini, juga menyoroti bahwa saat ini masih banyak guru yang kolot dan tidak bisa menerima keterbukaan, sesuatu yang menurutnya perlu diubah perlahan.
“Ga ada salahnya mengakui kalau guru salah, karena keterbukaan bagian yang luar biasa dalam proses belajar antara guru dengan murid. Saya yakin (jika guru memiliki sifat terbuka), perkembangan murid bisa lebih optimal,” tutup Gita.
Salah seorang guru yang hadir dalam bincang-bincang tersebut juga bertanya tolak ukur dan kepribadian guru yang sukses seperti apa. Menteri perdagangan tahun 2011-2014 itu pun
menjawab bahwa jika dalam proses belajar mengajar tidak ada siswa yang bertanya, maka kemungkinannya ada dua, mengerti atau tidak.
“Kita bisa mengukur pemahaman murid dari sejauh apa dan bagaimana mereka bertanya. Jika tidak ada yang nanya (ketika mengajar), saya merasa gagal. Lebih lanjut kalau siswa bisa berdebat dengan siswa lain, itu sudah maju ke level selanjutnya. Ketika ada murid yg bisa menjelaskan konsep ke murid yang lain, itu sudah level yang lebih tinggi lagi,” jelas Gita.
Sebagai penutup, Gita berpesan pada seluruh guru untuk lebih banyak membaca, agar bisa menjadi pengajar yang lebih efektif. Hal ini ia kemukakan karena kerap menemui guru yang tidak banyak membaca buku sebelum mengajar.
“Ini yang membedakan antara guru yang baik dan hebat. Guru baik tetaplah dengan apa yang mereka miliki, tapi guru hebat bisa mengantisipasi hal yang akan terjadi di masa depan,” tutup Gita. (rls/siedoo)