JAKARTA – Rencana mitigasi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia mendapat sambutan baik. Hal ini sesuai dengan kontekstual kebutuhan saat ini. Mengingat, Indonesia ada di posisi di jalur patahan gempa.
“Memiliki lingkaran gunung berapi (Ring of Fire), serta struktur geografi yang rawan bencana, gagasan memasukkan kurikulum pendidikan berbasis mitigasi kebencanaan sangat relevan,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR RI Reni Marlinawati dilansir dari dpr.go.id.
Dinyatakan, gagasan ini bukan berarti membuat mata pelajaran baru. Namun, cukup memasukkan soal kebencanaan dengan mata pelajaran yang sudah ada.
Ia menyebutkan mata pelajaran geografi dapat diisi dengan konten bervisi mitigasi kebencanaan. Nilai lebih memasukkan mitigasi kebencanaan dalam mata pelajaran, akan muncul pemahaman yang komprehensif sejak dini dan menjadikan warga yang tanggap atas kebencanaan.
“Ini jauh lebih efektif ketimbang simulasi yang kerap dilakukan selama ini,” tambah Reni.
Lebih lanjut Reni menambahkan, konten kurikulum kebencanaan dapat dipetakan sesuai dengan potensi kebencanaan di masing-masing daerah. Pola ini, sambung legislator dapil Jawa Barat ini, akan lebih efektif dan tepat sasaran.
“Prosentasi konten kurikulum bervisi kebencanaan disesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap daerah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat menggandeng BNPB, Pemda dan stakeholder untuk merumuskan kurikulum ini,” tandas Reni.
Ia berharap kurikulum berkonten kebencanaan ini dapat diterapkan dalam ajaran baru 2019/2020. Oleh karenanya, pihaknya berharap pemerintah dapat bergerak cepat untuk merealisasikan ide tersebut.
“Prinsipnya lebih cepat lebih baik,” tutup Reni.
Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, Kemendikbud akan memberikan dasar-dasar keterampilan hidup atau basic life skills kepada siswa, salah satunya mengenai pendidikan mitigasi bencana.
Ada lima paket modul yang sudah disiapkan Kemendikbud, yakni modul tentang bahaya narkoba, menangkal radikalisme, kesadaran hukum berlalu lintas, pendidikan antikorupsi, dan pendidikan mitigasi bencana. Kelima modul tersebut tidak akan menjadi mata pelajaran khusus, melainkan akan dilebur ke dalam kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah.
“Jadi nanti satu paket di dalam PPK, dan masih terbuka kalau ada hal tertentu yang masih harus masuk, akan kita masukkan. Kita usahakan mulai tahun ajaran 2019,” ujarnya dilansir dari kemdikbud.go.id.
Ia menegaskan, pendidikan mitigasi bencana yang dimasukkan ke dalam kurikulum tidak akan berupa mata pelajaran khusus. Mendikbud mengingatkan semua pihak agar tidak menjadikan sekolah sebagai tempat pembuangan akhir atau solusi terakhir dalam menyelesaikan masalah.
“Sekolah jangan dijadikan tempat pembuangan akhir, sehingga kalau ada masalah kemudian masuk kurikulum, kemudian masalah selesai. Ini yang harus dipahami,” tegasnya.
Secara teknis, tutur Mendikbud, pendidikan mitigasi bencana diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar tanpa melalui mata pelajaran khusus.
“Kan sebetulnya proses belajar mengajar dibikin seluwes mungkin, dengan waktu yang cukup. Dan dengan ketentuan guru mengajar 8 jam, memberikan keleluasaan kepada guru untuk mengatur jam belajar lebih luwes,” tuturnya.
Mendikbud menuturkan, pendidikan mitigasi bencana butuh keterlibatan semua pihak, baik sekolah, orang tua, masyarakat, maupun kementerian/lembaga lain. Sebelumnya Kemendikbud sudah bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penyusunan modul dan pemberian pelatihan kecakapan hidup.
“Sekolah atau guru juga harus ada kerja sama dengan BNPB. Jadi sebenarnya cukup beberapa kali pertemuan. Kita lihat, mana yang cukup dengan pemberian informasi dan pengetahuan, dan mana yang perlu dibekali kecakapan atau keterampilan khusus seperti kebencanaan. Itu (pendidikan kebencanaan) perlu ada kecakapan khusus yang dilatih ke siswa,” katanya.
Melansir dari detik.com, Kepala BNPB yang baru dilantik, Letjen Doni Monardo mengibaratkan mitigasi bencana seperti informasi intelijen saat berperang.
“Seperti kita kalau mau berperang, harus dapat informasi dari intelijen. Nah demikian juga dalam menghadapi bencana ini, yang tahu tentang potensi bencana adalah para pakar,” ucapnya.
Doni berharap para pakar itu bisa memberikan gambaran perkiraan terkait potensi ancaman bencana di semua wilayah Indonesia. Dari situlah, menurut Doni, pencegahan dan penanggulangan bencana dapat dikategorisasi. Selain itu, dia ingin mengupayakan pelatihan sadar bencana bisa sampai ke masyarakat hingga ke tingkat RW.
“Nah kalau ini sudah berlangsung dengan baik, artinya apa? Kita sudah memiliki sebuah kesiapan yang baik dan masyarakat sudah semakin waspada bahwa di daerah mereka, mereka sudah tahu potensi ancaman, tsunami, gunung berapi, dan sebagainya,” kata Doni. (Siedoo)