Siedoo.com -
Nasional

Komentar Dewan, Lebih Baik Revisi UU ASN Dibanding P3K

JAKARTA – Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dianggap tidak berpihak tenaga honorer K2, termasuk di dalamya guru. Persoalan itu tidak akan menyelesaikan masalah mereka, yang upahnya tidak berasal dari APBN.

Munculnya P3K di antaranya untuk menfasilitasi tenaga honorer K2 yang tidak bisa mengikuti seleksi CPNS karena terbatasnya usia, maksimal 35 tahun. Untuk bisa menjadi P3K, usianya tidak dibatasi, selama belum mamasuki usia pensiun, 58 tahun.

Kedua-keduanya, P3K maupun PNS masuk dalam kategori Aparatur Sipil Negar (ASN). Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, untuk bisa menjadi ASN harus melewati tahapan tes.

Sebagaimana diketahui, jumlah guru honorer K2 di Indonesia 157.210 orang. Dari jumlah itu sebagaian kecil ikut melamar CPNS 2018. Yang lulus Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) 6.541 orang. Sisanya akan mengikuti proses penyelesaian lewat jalur P3K.

Agar guru honorer K2 bisa menjadi PNS, Fraksi Partai Gerindra DPR RI tetap konsisten meminta pemerintah menyelesaikan melalui revisi UU ASN.

“Fraksi Partai Gerindra sudah menyampaikan pendapat tetap tidak setuju memakai sistem PPPK. Jalan keluarnya adalah Revisi PP 48 tahun 2018 atau tetap revisi UU ASN,” kata Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Gerindra, Nizar, dilansir dari jpnn.com.

Bagaimanapun, pengabdian honorer K2 selama belasan, bahkan puluhan tahun harus dihargai pemerintah dengan mengangkat mereka menjadi ASN. Terlebih, pengangkatan itu masuk dalam janji politik Presiden Joko Widodo ketika kampanye Pilpres 2014.

“Keinginan Gerindra, honorer K2 tetap harus diangkat jadi ASN tanpa batasan umur maksimal 35 tahun dan tanpa tes,” tandasnya.

Revisi ASN sudah bergulir sejak Desember 2016 dan pernah akan dituntaskan Maret 2017, tetapi tidak terlaksana. Bahkan rencana pembahasan revisi antara DPR RI dengan Pemerintah Pusat yang diagendakan 4 Desember 2017 lalu juga ditunda. DPR pun memberi penjelasan, rapat ditunda karena dari pihak pemerintah tidak datang.

Baca Juga :  Ketua Komisi X DPR RI : Pendidikan Vokasi Semakin Jauh dari Kebutuhan Industri

Bahaya Besar Bila Tanpa Tes

Dalam Opini dengan judul “Revisi UU ASN dan Bahaya PNS tanpa Tes” yang terbit di mediaindonesia.com, disebutkan bahwa pengangkatan ASN/PNS di berbagai negara mana pun, kian tahun kian ketat dengan sistem dan mode seleksi yang update sesuai dengan dinamika tuntutan publik dan perkembangan lingkungan strategis di bidang pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik.

Di negara maju seperti Jepang, misalnya, pegawai pemerintah diseleksi amat ketat. Setidaknya ada lima tahapan seleksi yang harus dilalui, antara lain tes kompetensi intelektual, tes kompetensi daya inovasi, integritas, dan profesionalitas.

“Bandingkan dengan tahapan seleksi CPNS di RI yang hanya melalui dua tahapan seleksi. Karena itu, tidak mengherankan apabila kualitas intelektual, sosial, daya inovasi, integritas, dan profesionalitas PNS di RI jauh panggang dari api,” tulis Tasroh PNS di Pemkab Banyumas, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang, dalam tulisan opininya.

Untuk itu, dalam tulisannya, revisi UU ASN justru harus kian memperketat seleksi CPNS sekaligus upaya negara melakukan pembinaan, pendidikan, dan pengawasan lebih ketat dan terukur agar tujuan, visi, dan misi ‘Nawa Cita’ pemerintahan Jokowi-JK tidak sekadar basa-basi.

“Pada pendulum inilah, upaya menerima PNS tanpa tes tak hanya beraroma politis, tetapi lebih banyak mudaratnya. Bahayanya tak hanya terkait dengan terkurasnya anggaran negara di tengah krisis, tetapi sekaligus sebagai upaya alamiah dan rasional perkembangan grafis PNS itu sendiri,” lanjutnya.

Dinyatakan, apalagi pemerintahan Jokowi berjanji menghadirkan kualitas pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik yang lebih agresif untuk merespons dinamika nasional dan global. Maka, hanya dengan seleksi CPNS yang kian tetat dan terstandar nasional, tujuan serta kebijakan pemerintah dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Baca Juga :  Seleksi P3K Kemenag Mendadak Ditunda, Mengapa?

“Saran penulis alangkah lebih baik, sebagai ekspresi ‘penghargaan’ kepada para tenaga honorer/PTT, dalam UU ASN hasil revisi semestinya dicantumkan secara jelas, tegas, dan terukur, ‘harga’ pengabdian para tenaga honorer/PTT itu dalam sistem rangking yang terintegrasi,” tandasnya.

Dalam konteks ini, mengabdi di unit-unit instansi/lembaga pemerintah bisa dibuka dalam dua kategori. Yakni, kategori tenaga non-PNS/non-ASN dengan sistem kontrak dan model penggajian serta jaminan yang sebanding dengan kemampuan keuangan negara/daerah dan kategori PNS seleksi massal dan tersandar nasional.

Menurutnya, kesemuanya jenis PNS itu tetaplah perlu pembinaan, pendidikan, dan pengawasan yang ketat, terukur, dan berkelanjutan. Sehingga, benar-benar bekerja dan mengabdi kepada negara/pemerintah.

“Pada pendulum inilah, UU ASN harus mencantumkan penegasan klausal sistem, model, dan mekanisme seleksi, pembinaan, penilaian kinerja, hingga evaluasi tugas pokok dan fungsi tiap PNS/ASN dengan parameter yang lebih jelas dan tegas. Agar tidak menimbulkan iri dengki di antara sesama PNS/ASN, seperti terjadi selama ini yang menjadi biang banyak tenaga honorer/PTT menuntut menjadi PNS!,” bebernnya. (Siedoo)

Apa Tanggapan Anda ?