Pembunuh Berantai Jepang ‘Twitter Killer’ Dieksekusi Mati. Jepang kembali terguncang oleh kabar pelaksanaan hukuman mati terhadap pembunuh berantai paling mengerikan dalam sejarah modern negeri itu. Takahiro Shiraishi, atau ‘Twitter Killer’. secara resmi terhukum mati oleh otoritas Jepang setelah mendapatkan hukuman pada tahun 2020 terhadap kasus pembunuhan sembilan orang.
Kasusnya sempat mengguncang dunia maya dan media internasional karena metode kejahatannya yang sangat kejam. Serta bagaimana ia menjaring para korbannya—melalui Twitter. Dengan akun yang menyamar, ia menargetkan para korban yang mengalami depresi dan memiliki kecenderungan untuk mengakhiri hidup. Ia menjanjikan “bantuan” dan “kematian bersama”, tapi berakhir dengan pembunuhan brutal.
Modus Kejam dan Rekam Jejak Pembunuhan
Takahiro Shiraishi, pria berusia 30-an asal kota Zama Pembunuh Berantai Jepang, Prefektur Kanagawa, menjalankan aksinya selama periode beberapa bulan pada tahun 2017. Ia memanfaatkan celah di Twitter, menggunakan kata kunci tertentu seperti “bunuh diri” atau “ingin mati”, lalu mendekati para korban secara perlahan. Sebagian besar korban adalah perempuan muda berusia 15 hingga 26 tahun.
Setelah berhasil mengajak mereka ke apartemennya, Shiraishi membunuh mereka, memutilasi jasadnya. Dan menyimpan bagian tubuh korban di dalam kotak pendingin dan lemari penyimpanan.
Aksi kejam itu baru terbongkar ketika keluarga salah satu korban melapor ke polisi dan melacak akun media sosial terakhir yang terakses. Saat polisi menggerebek apartemennya, menemukan sembilan potongan tubuh dalam kondisi mengenaskan—sebuah temuan yang bahkan mengejutkan petugas berpengalaman.
Persidangan dan Pengakuan Tanpa Penyesalan
Pada masa persidangan di pemerinth jepang, Shiraishi Pembunuh Berantai Jepang mengakui seluruh perbuatannya tanpa menunjukkan rasa penyesalan. Ia bahkan menyatakan bahwa korban sebenarnya tidak ingin mati, dan ia melakukannya karena dorongan pribadi untuk mendominasi dan memuaskan fantasi sadisnya. Pernyataannya ini bertentangan dengan klaim awal bahwa ia hanya ingin “membantu” mereka mengakhiri hidup.
Pengadilan Tokyo kemudian memutuskan bahwa tindakannya adalah pembunuhan berencana dan bukan bentuk kerja sama bunuh diri seperti yang diklaim. Ia mendapatkan hukuman mati pada Desember 2020, dan kini telah resmi tereksekusi setelah melewati proses hukum terakhir.
Pembunuh Berantai Jepang ‘Twitter Killer’ Dieksekusi Mati
Pemerintah Jepang tidak biasa mengumumkan eksekusi mati secara terbuka sebelum terlaksana. Namun, dalam kasus ini, perhatian publik dan intensitas media membuat kabar eksekusi Shiraishi tersebar cepat. Kementerian Kehakiman Jepang mengonfirmasi bahwa eksekusi dilakukan melalui metode gantung, sebagaimana umum digunakan dalam sistem peradilan Jepang.
Eksekusi ini pun menuai berbagai tanggapan. Sebagian warga menganggap hukuman tersebut pantas mengingat kejahatan brutal yang dilakukan, sementara lainnya menyoroti pentingnya evaluasi sistem media sosial dan kesehatan mental di kalangan remaja Jepang.
Pemerintah Ambil Pelajaran Kelam dari Dunia Maya
Kasus ‘Twitter Killer’ menjadi peringatan keras terhadap bahaya predator di media sosial, khususnya bagi remaja dan orang dengan kondisi mental yang rentan. Dalam era digital yang serba terbuka, kata-kata, pencarian, atau posting bisa menjadi pintu masuk bagi individu berbahaya seperti Shiraishi.
Sejak kasus itu, Twitter Jepang memperketat pengawasan terhadap kata kunci sensitif dan mendorong penggunaan sistem pelaporan yang lebih responsif. Pemerintah Jepang juga mengupayakan peningkatan layanan konseling dan pencegahan bunuh diri melalui platform online.
Antara Keadilan dan Trauma Pembunuh Berantai Jepang
Dengan berakhirnya nyawa Takahiro Shiraishi dengan hukuman gantungan, banyak keluarga korban merasa keadilan telah terlaksana di negeri tersebut. Namun trauma yang tertinggal oleh kasus ini tetap membekas, terutama di kalangan muda Jepang yang menjadi kelompok paling rentan di era digital.
Pemerintah Jepang mengingatkan, Kasus ini bahwa kemajuan teknologi harus selalu sejalan dengan kesadaran, pengawasan, dan perlindungan, agar tidak termanfaatkan oleh individu dengan niat kelam.