AS Tolak Tawaran Putin Jadi Penengah Konflik Israel-Iran
EKONOMI INTERNASIONAL POLITIK TRENDING

AS Tolak Tawaran Putin Jadi Penengah Konflik Israel-Iran

AS Tolak Tawaran Putin Jadi Penengah Konflik Israel-Iran, Hubungan diplomatik global kembali memanas setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin, menyatakan keinginannya untuk menjadi penengah dalam konflik yang sedang meningkat antara Israel dan Iran. Namun, niat tersebut segera ditolak secara tegas oleh Amerika Serikat. Pemerintah AS menyatakan bahwa Rusia tidak dalam posisi netral untuk memediasi konflik, apalagi mengingat keterlibatan militer Rusia yang masih aktif di Ukraina.

Penolakan itu menambah ketegangan dalam peta geopolitik global yang saat ini sudah kompleks. Tidak hanya Gedung Putih yang bersuara, mantan Presiden Donald Trump pun turut menyindir langkah Putin sebagai “pengalihan isu” dari kegagalan Rusia di perang Ukraina.

Putin Ajukan Diri sebagai Mediator Israel-Iran

Pernyataan Putin muncul dalam forum diplomatik di St. Petersburg, ketika ia secara terbuka menawarkan bantuan Rusia untuk memfasilitasi perundingan antara Iran dan Israel.

“Kami telah berdialog dengan pihak Iran, dan kami juga menjalin komunikasi dengan beberapa elemen di Israel. Rusia percaya, konflik ini bisa dicegah dari eskalasi lebih jauh melalui dialog langsung. Kami siap menjadi fasilitatornya,” ujar Putin dalam pernyataan resminya.

Namun, berbagai pengamat internasional menilai bahwa langkah ini lebih banyak bersifat politis ketimbang murni kemanusiaan.

AS Langsung Menolak: Rusia Tak Punya Kredibilitas

Merespons pernyataan Putin, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, dengan tegas menolak usulan tersebut. Dalam konferensi pers di Washington, ia mengatakan bahwa Amerika Serikat menghargai semua inisiatif perdamaian, tetapi menilai Rusia tidak memiliki kredibilitas untuk memainkan peran tersebut.

“Sulit membayangkan bagaimana negara yang masih aktif menginvasi negara tetangganya, bisa mengaku sebagai penengah damai yang netral. Dunia internasional tidak lupa dengan tindakan Rusia di Ukraina,” kata Miller.

Pihak Gedung Putih juga menyatakan bahwa stabilitas Timur Tengah harus dibangun melalui pendekatan kolektif dengan melibatkan negara-negara yang memiliki rekam jejak diplomatik positif, dan bukan negara yang justru memperkeruh konflik di kawasan lain.

Trump Ikut Buka Suara: “Urus Dulu Ukraina”

Dalam wawancara eksklusif dengan Fox News, Trump menyebut tawaran Putin sebagai “strategi pengalihan” untuk menutupi kegagalan Rusia di medan perang Ukraina.

“Putin harusnya malu. Ukraina masih terbakar, pasukannya masih di sana, dan dia ingin jadi pahlawan di Timur Tengah?

Ia juga mengkritik keras kebijakan luar negeri Rusia yang cenderung mementingkan kepentingan geopolitik terbanding kemanusiaan.

Sikap Israel dan Iran Masih Abu-abu

Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Israel terkait tawaran Rusia. Namun menurut sejumlah laporan media Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak mempertimbangkan serius tawaran tersebut.

Pernyataan tersebut ternilai sebagai sindiran halus terhadap Rusia, yang terketahui memiliki hubungan militer dan ekonomi dengan berbagai pihak di kawasan tersebut, termasuk Suriah dan kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di perbatasan Israel.

Pengamat: Rusia Ingin Pulihkan Citra

Sejumlah analis hubungan internasional menilai bahwa langkah Putin lebih bermuatan citra terbanding upaya nyata meredakan konflik. Menurut mereka, tawaran tersebut adalah bagian dari strategi Rusia untuk mengembalikan pengaruh globalnya yang mulai merosot sejak invasi ke Ukraina.

“Ini bukan pertama kalinya Rusia mencoba mencuri panggung diplomatik di tengah konflik global. Namun sulit terpercaya oleh komunitas internasional ketika niat damai itu datang dari pihak yang masih memicu perang besar,” ujar Dr. Elise Carrington, pengamat geopolitik dari Universitas Georgetown.

Penutup

Penolakan Amerika Serikat terhadap tawaran Vladimir Putin untuk menjadi penengah konflik Israel-Iran semakin memperjelas posisi Washington dalam menjaga stabilitas global dan mempertahankan kredibilitas diplomatik. Sementara itu, sindiran dari Donald Trump menunjukkan bahwa isu ini juga mulai masuk ke ranah politik domestik AS.

Dengan ketegangan yang terus meningkat di Timur Tengah dan perang yang belum usai di Eropa Timur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *