Raja Ampat Memanas: Masyarakat Adat Tutup Pulau Wayag dari Aktivitas Wisata
DAERAH TRENDING

Raja Ampat Memanas: Masyarakat Adat Tutup Pulau Wayag dari Aktivitas Wisata

Raja Ampat Memanas: Masyarakat Adat Tutup Pulau Wayag dari Aktivitas Wisata. Salah satu ikon pariwisata Indonesia, Pulau Wayag di Raja Ampat, kini tertutup rapat dari kunjungan wisatawan. Bukan karena bencana alam atau cuaca ekstrem, melainkan karena suara keras dari mereka yang selama ini paling jarang dengar: masyarakat adat.

Pada Jumat pagi yang tenang, beberapa perahu masyarakat adat mendekat ke dermaga Wayag. Tanpa kekerasan, tanpa keributan. Mereka datang membawa pesan yang jelas: “Pulau ini milik kami. Dan kami ingin dengar.”

Langkah tegas ini ambil sebagai bentuk protes atas pengelolaan pariwisata yang nilai tidak adil dan mengabaikan hak-hak adat yang melekat kuat di tanah leluhur mereka. Bagi masyarakat adat setempat, Pulau Wayag bukan sekadar tempat indah berisi bukit-bukit karst dan air sebening kaca, tapi juga ruang spiritual dan identitas budaya.

Kenapa Ditutup? Suara yang Lama Terkubur Kini Menggema

Pulau Wayag kenal sebagai ikon wisata Raja Ampat yang telah lama memikat wisatawan lokal hingga mancanegara dengan panorama alamnya yang menakjubkan. Tapi di balik senyum ramah pemandu wisata dan foto-foto eksotis di media sosial, ada cerita tentang keterpinggiran masyarakat adat.

Menurut pernyataan yang sampaikan oleh tokoh adat dari suku Kawe, pengelolaan wisata selama ini terlalu berorientasi pada keuntungan pihak luar. “Kami hanya jadi penonton. Bahkan kadang kami larang masuk ke tempat yang sejak nenek moyang kami jaga,” ujar Markus Mambrasar, salah satu pemimpin adat.

Pihak adat menilai bahwa sejak beberapa tahun terakhir, peran mereka dalam pengambilan keputusan hampir tak ada. “Kami bosan jadikan simbol budaya untuk menarik wisatawan, tapi saat kami bicara soal hak, kami bungkam,” tambahnya.

Raja Ampat Bukan Anti-Wisata, Tapi Ingin Dihargai

Perlu garis bawahi, masyarakat adat sama sekali tidak menolak pariwisata mereka hanya ingin libatkan secara adil dalam pengelolaannya. Mereka menyadari potensi ekonomi besar dari sektor ini, terlebih Raja Ampat telah kenal dunia sebagai “surga bawah laut”.

Namun, mereka ingin model pariwisata yang berkelanjutan dan adil. “Kami tidak ingin Wayag rusak. Kita tidak ingin budaya kami jual murah. Saya ingin terlibat, bukan sekadar beri sisa,” ujar Mama Yohana, seorang tokoh perempuan adat.

Penutupan ini juga menjadi bentuk protes atas tidak libatkannya masyarakat adat dalam penyusunan kebijakan tiket masuk dan pembagian hasil pendapatan wisata. Selama ini, kata mereka, pemasukan besar dari pariwisata justru lebih banyak nikmati oleh investor dan oknum birokrasi. Raja Ampat Memanas: Masyarakat Adat Tutup Pulau Wayag dari Aktivitas Wisata

Respons Pemerintah Daerah: Masih Didiskusikan

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat menyebut sedang membangun dialog aktif dengan masyarakat adat demi menemukan solusi yang adil bagi semua pihak. Dalam pernyataan resminya, Kepala Dinas Pariwisata Raja Ampat menegaskan bahwa pemerintah siap menjalin dialog terbuka dengan masyarakat adat untuk merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Namun hingga saat ini, belum ada langkah nyata yang menjawab tuntutan warga. Namun, masyarakat adat tetap pada sikapnya: Pulau Wayag akan tetap tertutup hingga tuntutan mereka benar-benar akui dan tuangkan dalam kebijakan resmi.

Simbol Perlawanan yang Lebih Besar

Situasi di Pulau Wayag mencerminkan realitas yang lebih luas sebuah cermin dari perjuangan banyak komunitas adat di berbagai penjuru Indonesia. Di tengah gempuran investasi dan pembangunan, banyak masyarakat adat yang merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Mereka tuntut ramah, bersolek untuk pariwisata Raja Ampat, tapi tak pernah ajak bicara soal keputusan besar.

Penutupan Pulau Wayag menjadi semacam deklarasi bahwa masyarakat adat ingin berdiri sejajar. Mereka tak menolak perubahan, tapi ingin perubahan itu menghargai akar, bukan mencabutnya.

Pariwisata Adil, Bukan Sekadar Indah Raja Ampat

Peristiwa ini menjadi pengingat keras bagi seluruh pelaku pariwisata di tanah air bahwa keindahan alam tak bisa pisahkan dari hak-hak masyarakat penjaganya. Bahwa di balik keindahan lanskap, ada lanskap sosial yang tak kalah penting. Bahwa wisata bukan cuma tentang spot foto dan resort mewah Raja Ampat, tapi juga soal relasi kuasa, keadilan, dan keberlanjutan.

Indonesia, dengan keberagaman suku dan budaya yang membentang luas, bukan hanya kaya akan alam, tapi juga menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang patut jaga dan hargai.Tapi kekayaan itu hanya akan berarti jika semua pihak terutama masyarakat adat   beri tempat yang layak dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan.

Wayag kini sepi. Tapi di balik kesepian itu, suara masyarakat adat menggema lebih nyaring dari sebelumnya. Sebuah pesan yang harusnya tidak hanya dengar, tapi juga tindaklanjuti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *