Pemakzulan Wapres Gibran Antara Etika Politik dan Kepatuhan Hukum
NASIONAL POLITIK

Pemakzulan Wapres Gibran Antara Etika Politik dan Kepatuhan Hukum

Pemakzulan Wapres Gibran Antara Etika Politik dan Kepatuhan Hukum Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia ke-14 yang dilantik pada 20 Oktober 2024, kini menghadapi sorotan tajam terkait dugaan pelanggaran etika dan hukum yang berpotensi mengarah pada pemakzulan.

Skandal Akun “Fufufafa” dan Dugaan Perbuatan Tercela

Isu utama yang mencuat adalah dugaan keterlibatan Gibran dengan akun anonim “Fufufafa” di platform Kaskus. Akun ini di ketahui menyebarkan konten yang di anggap menghina dan bertentangan dengan norma sosial serta etika publik.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menyatakan bahwa jika keterlibatan Gibran terbukti, ia dapat di kenai pasal pemakzulan berdasarkan Pasal 7A dan 7B UUD 1945, yang mengatur pemberhentian presiden dan wakil presiden jika terbukti melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela.

Anthony Budiawan dari Political Economy and Policy Studies (PEPS) menambahkan bahwa jika Gibran terbukti sebagai pemilik akun tersebut. Maka ia tidak layak dan tidak boleh dilantik sebagai wakil presiden.

Mengacu pada Pasal 169 huruf j UU Pemilu Nomor 7/2017 yang mensyaratkan calon presiden dan wakil presiden tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Kontroversi Usia dan Legalitas Pencalonan

Selain itu, pencalonan Gibran sebagai cawapres juga menuai kontroversi terkait usia. Pada saat mendaftar sebagai calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023, usia Gibran belum genap 40 tahun, yang merupakan syarat minimum berdasarkan UU No. 7/2017.

Meskipun Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang memungkinkan pencalonannya, perubahan Peraturan KPU (PKPU) yang menyesuaikan syarat usia baru di lakukan setelah pendaftaran Gibran, menimbulkan dugaan cacat prosedur.

Dinamika Politik dan Potensi Pemakzulan

Proses pemakzulan bukanlah perkara mudah. Menurut Bivitri Susanti, proses ini memerlukan dukungan politik yang kuat di DPR. Yang saat ini mayoritas partainya merupakan bagian dari koalisi pemerintah.

Namun, PDIP, yang sebelumnya merupakan partai Gibran. Telah memecatnya karena di anggap melanggar AD/ART partai dengan maju sebagai cawapres dari koalisi lain. Pemakzulan Wapres Gibran Antara Etika Politik dan Kepatuhan Hukum

PDIP juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait legalitas pencalonan Gibran. Jika PTUN mengabulkan gugatan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat mempertimbangkan untuk tidak melantik Gibran sebagai wakil presiden.

Respons Gibran dan Langkah Selanjutnya

Menanggapi pemecatan dari PDIP, Gibran menyatakan bahwa ia “di keluarkan” dari partai dan memilih untuk tidak memperpanjang polemik tersebut. Namun, tekanan publik dan proses hukum yang berjalan dapat mempengaruhi stabilitas politik dan legitimasi pemerintahannya.

Sebagai wakil presiden termuda dalam sejarah Indonesia, masa depan politik Gibran kini berada di persimpangan antara pembuktian integritas pribadi dan tantangan hukum yang kompleks. Perkembangan kasus ini akan menjadi indikator penting bagi penegakan hukum dan etika dalam sistem politik Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *