Perang Dagang China dan AS Makin Panas Eskalasi Tarif yang Guncang Dunia Ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia Amerika Serikat dan China kembali mencapai titik didih.
Perang dagang yang sempat mereda kini kembali membara di awal 2025, dengan saling balas kebijakan tarif yang tak hanya mengganggu jalur perdagangan global, tapi juga menciptakan gelombang ketidakpastian ekonomi di banyak negara.
Gelombang Tarif Baru: Adu Kuat Dua Negara
Pada pekan kedua April 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan kenaikan tarif besar-besaran terhadap produk China, termasuk tambahan 20% untuk barang-barang terkait opioid sintetis seperti fentanil yang diklaim sebagai langkah perlindungan publik.
Total tarif terhadap produk China kini melambung hingga 145%. Tidak butuh waktu lama, China merespons balik dengan menaikkan tarifnya atas produk Amerika dari 84% menjadi 125%.
Pemerintah China menyebut langkah AS sebagai “perundungan ekonomi” dan memperingatkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Dalam pernyataannya, Kementerian Keuangan China mengatakan bahwa mereka siap mengambil langkah lebih jauh jika Washington tak menghentikan kebijakan agresifnya.
Efek Domino: Pasar Global Berguncang
Tak pelak, benturan kebijakan dua negara raksasa ini mengguncang pasar global. Bursa saham Asia mengalami koreksi signifikan, sementara nilai tukar yuan mengalami tekanan berat, meski menunjukkan sedikit tanda pemulihan.
Organisasi-organisasi internasional pun angkat bicara. PBB memperingatkan bahwa konflik ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi global hingga 0,5 persen tahun ini.
Negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada ekspor pun terkena getahnya, dengan potensi terganggunya rantai pasok global dari bahan baku hingga barang jadi.
Reaksi Dunia: Uni Eropa Usulkan Jeda Tarif
Di tengah panasnya tensi AS-China, Uni Eropa mencoba tampil sebagai penengah. Brussels mengusulkan jeda tarif selama 90 hari antara AS dan mitra-mitra dagangnya, berharap langkah ini bisa membuka ruang dialog damai. Namun, baik AS maupun China belum memberikan tanggapan pasti atas inisiatif tersebut.
Sementara itu, beberapa negara Asia Tenggara justru melihat peluang. Dengan perang tarif mempersulit hubungan AS-China, negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Thailand berpotensi menjadi alternatif pusat produksi global.
Langkah Tambahan China: Senjata Ekonomi Baru
Tak hanya tarif, China mulai memainkan kartu lainnya. Pemerintah di Beijing memperketat kontrol ekspor terhadap rare earth minerals bahan penting dalam industri teknologi, dari smartphone hingga kendaraan listrik.
Mereka juga menghentikan impor beberapa komoditas pertanian dari AS, seperti kedelai dan jagung, sebagai bentuk tekanan terhadap basis politik domestik Trump di daerah pertanian.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa China tidak hanya bermain di satu sisi, tapi mulai menggunakan pengaruh ekonominya sebagai alat tawar dalam negosiasi geopolitik. Perang Dagang China dan AS Makin Panas Eskalasi Tarif yang Guncang Dunia
Kesimpulan: Jalan Terjal Menuju Resolusi
Perang dagang AS-China bukan sekadar tarik ulur tarif. Ini adalah cerminan dari perebutan dominasi ekonomi, teknologi, bahkan pengaruh global. Tanpa solusi damai dan diplomasi yang jujur, risiko bagi perekonomian global akan semakin besar.
Saat ini, dunia hanya bisa berharap bahwa akal sehat dan kepentingan bersama akan mengalahkan ego nasionalisme ekonomi. Jika tidak, kita semua tak peduli negara maju atau berkembang akan merasakan dampaknya.